Tak terasa beberapa hari lagi kita akan
menjumpai suatu hari bersejarah yang patut dikenang bangsa kita. Yup, lusa pada
tanggal 21 April kita akan merayakan Hari Kartini Nasional. Namun sayangnya,
kini masyarakat Indonesia sudah mulai melupakan bagaimana perjuangan Kartini
untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia di mata masyarakat. Sosok Kartini
bernama lengkap Raden Adjeng Kartini atau Raden
Ayu Kartini dikenal karena usahanya dalm melakukan emansipasi wanita. Beliau
berasal dari keluarga priyayi
(bangsawan). Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera
setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi
bukan istri utama Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana
VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali
ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin
menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat
mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan
seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja
Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati
di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A.
Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan
tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun
dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang
memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah
seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah diELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun,
ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia
mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang
berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang
banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik
pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang
diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel(paket
majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat
majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah
wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa
kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.
Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian,
sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu
karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata
soal emansipasi wanita,
tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar
memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan
yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20,
terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta karyaMultatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya
dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya
Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de
Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van
Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die
Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang,
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga
istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti
keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah
wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau
di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada
tanggal 13 September 1904. Beberapa hari
kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal
pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan
Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah
Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini".
Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer,
seorang tokoh Politik Etis.
Mungkin kini banyak
bertebaran “Kartini Modren” yang tak kita sadari kehadirannya, salah satunya
ibu kita sendiri. Kita terkadang lupa akan jasa ibu kita sendiri yang telah
membesarkan kita sampai sebesar ini. Kali ini mimin mengajak kita semua dalam
rangka Hari Kartini Nasional ini agar dapat menghormati derajat kaum wanita
terutama ibu kita sendiri. Dan bagi wanita, agar kita dapat meneruskan
perjuangan Kartini dengan baik. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar